SURABAYA
Karya : Mustofa Bisri
Jangan anggap mereka kalap
jika mereka terjang senjata sekutu lengkap
jangan dikira mereka nekat
karena mereka cuma berbekal semangat
melawan seteru yang hebat
Jangan sepelekan senjata di tangan mereka
atau lengan yang mirip kerangka
Tengoklah baja di dada mereka
Jangan remehkan sesobek kain di kepala
tengoklah merah putih yang berkibar
di hati mereka
dan dengar pekik mereka
Allahu Akbar !
Dengarlah pekik mereka
Allahu Akbar !
Gaungnya menggelegar
mengoyak langit
Surabaya yang murka
Allahu Akbar
menggetarkan setiap yang mendengar
Semua pun jadi kecil
Semua pun tinggal seupil
Semua menggigil.
Surabaya,
O, kota keberanian
O, kota kebanggaan
Mana sorak-sorai takbirmu
yang membakar nyali kezaliman ?
mana pekik merdekamu
Yang menggeletarkan ketidakadilan ?
mana arek-arekmu yang siap
menjadi tumbal kemerdekaan
dan harga diri
menjaga ibu pertiwi
dan anak-anak negeri.
Ataukah kini semuanya ikut terbuai
lagu-lagu satu nada
demi menjaga
keselamatan dan kepuasan
diri sendiri
Allahu Akbar !
Dulu Arek-arek Surabaya
tak ingin menyetrika Amerika
melinggis Inggris
Menggada Belanda
murka pada Gurka
mereka hanya tak suka
kezaliman yang angkuh merejalela
mengotori persada
mereka harus melawan
meski nyawa yang menjadi taruhan
karena mereka memang pahlawan
Surabaya
Dimanakah kau sembunyikan
Pahlawanku ?
MALAM TELUK
Abdul Hadi W.M
Malam di teluk
menyuruk ke kelam
Bulan yang tinggal rusuk
padam keabuan
Ratusan gagak
Berteriak
Terbang menuju kota
Akankah nelayan kembali dari pelayaran panjang
Yang sia-sia? Dan kembali
Dengan wajah masai
Sebelum akhirnya badai
mengatup pantai?
Muara sempit
Dan kapal-kapal menyingkir pergi
Dan gonggong anjing
Mencari sisa sepi
Aku berjalan pada tepi
Pada batas
Mencari
Tak ada pelaut bisa datang
Dan nelayan bisa kembali
Aku terhempas di batu karang
Dan luka diri
RESONANSI INDONESIA
KARYA : Ahmadun Yosi Herfanda
Bahagia saat kau kirim rindu
Termanis dari lembut hatimu
Jarak yang memisahkan kita
Laut yang mengasuh hidup nakhoda
Pulau-pulau yang menumbuhkan kita
Permata zamrud di katulistiwa
Kau dan aku
Berjuta tubuh satu jiwa
Kau semaikan benih-benih kasih
Tertanam dari manis cintamu
Tumbuh subur di ladang Tropika
Pohon pun berbuah apel dan semangka
Kita petik bersama bagi rasa bersaudara
Kau dan aku
Berjuta kata satu jiwa
Kau dan aku
Siapakah kau dan aku?
Jawa, cina, batak, arab, dayak
Sunda, Madura, ambon, atau papua?
Ah, Tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
Berjuta tubuh satu jiwa
Ya,apalah artinya jarak pemisah kita
Apalah artinya Rahim ibu yang berbeda?
Jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
Tulus menyatu dalam genggaman
Burung garuda
Jakarta,1984/1999
CINTA
Abdul Hadi W.M
selalu ia terikat pada arus
Setiap kali ombak bertarung
Seperti tutur kata dalam hatimu
Sebelum mendapat bibir yang mengucapkanya
Angin kencang datang dari jiwa
Air berpusar dan gelombang naik
Memukul hati kita yang telanjang
Dan menyelimutinya dengan kegelapan
Sebab keinginan begitu kuat
Untuk menangkap cahaya
Maka kesunyianpun pecah
Dan yang tersembunyi menjelma
Kau disampingku
Aku disampingmu
Kata -kata adalah jembatan
Tapi yang mempertemukan
Adalah kalbu yang saling memandang
SAJAK SEBATANG LISONG
Karya : WS. Rendra
Menghisap sebatang lisong
Melihat Indonesia Raya
Mendengar 130 rakyat,
Dan di langit
Dua tiga cukong mengangkang
Berak di atas kepala mereka
Matahari terbit
Fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
Tanpa pendidikan
Aku bertanya,
Tetapi pertanyaan-pertanyaanku
Membentur meja kekuasaan yang macet
Dan papantulis-papantulis para pendidik
Yang terlepass dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
Menghadapi satu jalan panjang
Tanpa pilihan
Tanpa pepohonan
Tanpa dangau persinggahan
Tanpa ada bayangan ujungnya.
Menghisap udara
Yang disemprot deodorant
Aku melihat sarjana-sarjana menganggur
Berpeluh di jalan raya
Aku melihat wanita bunting
Antri uang pensiun
Dan di langit,
Para tekhnokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas
Bahwa bangsa kita mesti di-up-grade
Disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang
Langit pesta warna-warni didalam senjakala
Dan aku melihat
Protes-protes yang terpendam
Terhimpit dibawah tilam
Aku bertanya,
Tetapi pertanyaanku
Membentur jidat penyair-penyair salon
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan
Sementara ketidakadilan terjadi disampingnya
Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
Termangu-mangu di kaki dewi kesenian
Bunga-bunga bangsa tahun depan
Berkunang-kunang pandang matanya
Dibawah iklan berlampu neon
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
Menjadi gemalau suara yang kacau
Menjadi karang dibawah muka samodra
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
Kita mesti keluar jalan raya
Keluar ke desa-desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan menghayati persoalan yang nyata
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat
Apakah artinya kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
Bila terpisah dari masalah kehidupan
Di Malioboro
Gunawan Muhammad
--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965--
Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu, Mataram...
Ingatan-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma?")
membutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu
1997
Kopi Menyiram Hutan
(Taufik Ismail) 1988
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk atas jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di meja makan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri penataan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tiga juta hektar koran
Dua kolom kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koran basah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
NYANYIAN SENJA SEORANG PENCINTA
Karya Ahmadun Yosi Herfanda
jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup tanah dan batu-batu
menumbuhkan pohonan di tamanmu
putik bunga pun bertemu benihku
membuahkan cintamu
jika kau haus, minumlah jiwaku
jika tubuhmu berdaki
mandilah dalam kasihku
ikan-ikan bahagia dalam asuhanku
kafilah gembira menemuku
tiadalah arti hidup jika sekadar hidup
tiadalah arti mati jika sekadar mati
jika hidup tiada sebatas hidup
jika mati pun tiada sebatas mati
(jika tak takut hidup jiwa pun tak takut mati
karena dalam mati jiwa menemu hidup sejati)
jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup akar belukar dan pohonan
katak-katak bahagia dalam sejukku
teratai pun tersenyum
dalam ayunan jiwaku
tiada makna hidup
jika tiada menghidupi
tiada nikmat hidup
jika tiada memberi arti
– jika engkau pelaut
layarkan perahumu
pada keluasan hatiku!
Yogyakarta, 1984/2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar